Untuk Perempuan yang melintas tiap Kamis (5)


Bismillah RR

Hai, kini aku tidak menulis tengah malam lagi, agak kurang enak badan soalnya, heuheheu. Aku menulis ini pagi-pagi, mumpung masih tinggi gairahnya.

Eh, aku hendak mengajakmu bertamasya, flashback  agak jauh ke belakang, 5-7 tahun yang lalu. Jaman ketika aku masih asyik cekikiakan di pojok ruang kelas. Heuheu.

Eh, eh, jangan di tutup dulu, ini nanti ada hubungannya kok, dengan cerita-ceritaku yang kemarin. Terkadang kita perlu melihat ke bekang, bukan untuk kembali, akan tetapi lebih untuk sekadar evaluasi dan sebagai dasar mengambil keputusan di masa mendatang. Heuheu, sabar ya, ini bakal menarik kok.

Aku menghabiskan waktu SMA sebagai seorang santri. Ya, saya pertama kali mondok ketika SMA atau aliyah, di suatu kota tidak begitu jauh dari kediaman saya. Bisa dibilnag dekat kalau pakai kendaraan bermotor, tapi jadi jauh kalau jalan kaki. Apalagi kalau mbrangkang, heuheuheu.

Di pondok yang saya singgahi itu, saya bertemu dengan banyak sekali orang baru. Santri dan murid di sana sekitar 5000an anak. Dan saya adalah salah satu diantaranya. Saya bertemu dengan seorang kawan dari seberang daratan, yang menjadi teman dekat hingga sekarang, namanya Ari.

Kehidupan di pondok tidak selalu damai dan menyenangkan. Khususnya sebagai seorang minoritas seperti saya. Asal kamu tau, tahun-tahun awal saya di sana, saya adalah seorang minoritas. Anak-anak yang masuk tidak mulai dari mts dulu, dan langsung aliyah, harus melewati satu tahun penyesuaian, jadi sekolah Aliayah saya habiskan selama 4 tahun (di sana istilahnya kelas intensive). Dan tidak banyak orang yang mau menjalaninya. Itulah mengapa saya menjadi bagian minor di sana.

Sebenarnya, faktor utama yang membuat banyak anak yang tidak mau masuk kelas intensive, khususnya anak pondok adalah karena lingkungannya, bukan karna beratnya pelajaran. Murid intensive di pondok menjadi seperti "musuh masyarakat", banyak sekali yang "membenci". Konon, mereka yang selain dari intensive (mereka menamai diri mereka anak "pribumi") takut eksitensinya digilas anak intensive. Tapi yang bener gimana ya, wallohu a'lam bissowab. Heuheuheu.

Pokoknya, tidak mudah menjadi anak intenive, kamu harus punya "pantat tebal", untuk mendengarkan dan menerima perlakuan mereka yang seringkali kebangetan.

Hingga pada dinginnya malam musim kemarau, ketika aku dan seorang temanku sedang menikmti bintang sambil menyantap mie goreng dalam sekantung plastik di atas loteng, tiba-tiba datang 3 anak dan dengan buru-buru mereka mojok ke sisi yang lain. Rerdengr suara pukulan dan rintihan. Saya langsung mendekat dong. Dan ternyata saya dapati seorang teman intensive saya yang dipukuli 2 anak kelas 3. Jangan anggap anak kelas 3 kecil-kecil. Disini badannya besar-besar, gatau mimiknya apa, wkwkwk.

Mereka memang sering menyerang anak intensive yang pendiam dan penakut, mereka persekusi, hingga ia gak betah mondok. Begitulah siklusnya tiap tahun. Awa masuk, jumlahnya belasan, ketika lulus gak sampai hitungan jari tangan. Tapi takdir Alloh d tahun saya masuk, ada 23 anak yang mendaftar jadi intensive, termasuk yang terbnyak satu dekade terakhir.

Kembali ke cerita, akhirnya kami ikut bersitegang dong, sampai tanpa sadar, di belakang saya sudah berdiri puluhan anak kelas 3(dalam catan jumlah sensus keseluruhan anak kelas 3 waktu itu ada 96 anak, bayangkan saja). Kami bertiga mundur mengambil jarak. Saya minta waktu untuk turun, manggil teman-teman yang lain. Cekak critonipun, terjadi bentrok besar malam itu. Dan sayangnya, kejadian yng merugikan kami itu seakan ditutupi oleh pengurus, dan tidak sampai ke ndalem. Saya sangat kecewa waktu itu, dan malam itu juga saya kumpulkan anak intensive untuk melakukan pergerakan, yang nanti akan melahirkan organisasi rahasia "Assauthive"(As-sauth At-Taksifi), "cambuk intensive".

To be continue...

Komentar