Sajak Pejalan
ketika masih dapat kau baca
puisi ini,
maka panggillah aku, pejalan
lusuh,
berkaki debu, berkaus peluh
jika, telah sampai aku,
pada waktu, dimana atap tidak
lagi biru
ingatkan aku untuk membasuh
wajah,tangan, nalar juga
kakiku.
tunjukkan pula arah
kemana bisa tengadah.
karena, tiada jaminan,
sejauh mana aku sadar
bahwa hidup itu qodlo dan
qodar.
di jalan licin berlumpur
genangan bercampur bawur
buih ludah, kencing dan utah.
juga duri dan remah-remah kaca,
siapapun harus selalu waspada.
tiada suci yang tejamin
hanya debu sepanjang jaman.
sesekali air ditemukan
hilang dahaga setegukan.
Jika masih terdengar serak
suara puisiku,
maka Panggillah aku, pejalan
faqir
Habis bekalku meniti takdir
terhuyung-huyung, sepanjang
koridor
menyisi di tembok-tembok kotor
oleh sekelompok manusia berpeci
aku dibawa menghadap resi
diutus aku, mandi, juga gosok
gigi
jangan lupa parfum, biar wangi
kini
saban hari, melipat kaki
berkiblat resi
menatap lembar-lembar
ilmu hidup dan mati
menertawai masa silam
menangisi masa depan
mengolah keluh kesah
jadi pupuk-pupuk gairah
sesekali, aku rebah
melukis rumah
pada gurat-gurat cakrawala
mendengar bunga bermekaran
bertilawah ayat TuHan
oo, damai
negeri bising ini butuh basuhan
lirih ayat makhluk paling TuHan
Komentar
Posting Komentar